“Nak
Idris, nanti maharnya 30 Mayam ya. Uang hangusnya 40 juta, karena kita mau buat
pesta adat yang besar, maklumlah jumlah undangan kan sangat banyak,
saudara-saudara yang di sini, yang di kampung, belum lagi yang di Jakarta, akan
kita undang semua. Relasi-relasi bapaknya si Maya, teman-teman kantornya kan
juga harus diundang . Oh ya, siapkan juga uang “langkah” buat abangnya si Maya.
Setelah kalian menikah, ibu mau kalian tinggal di sini aja dulu barang setahun
dua tahun, daripada sewa rumah lebih baik rumah ini aja Nak Idris rehab supaya bisa
ditinggali dengan nyaman”, cerocos
calon mertua Bang Idris.
Sambil
tersenyum hambar Bang
Idris hanya mengangguk-angguk dengan tatapan kosong, tanda dia mengerti
sekaligus bingung. Bingung memikirkan besarnya biaya yang harus dia siapkan
untuk pernikahannya dengan Maya, gadis tambatan hatinya yang baru setahun
bekerja di salah satu perusahaan (BUMN). Bermodalkan gelar Sarjana Hukum Islam,
Maya telah mencoba melamar pekerjaan ke berbagai perusahaan namun selalu gagal.
Setahun yang lalu, kegagalan demi kegagalan yang pernah dialaminya terobati dengan
diterimanya ia di sebuah perusahaan BUMN yang cukup bergengsi. Kelulusannya
dari test yang berat dan berlapis-lapis sampai diterima menjadi pegawai, tak
lepas dari support dan jerih payah Bang
Idris yang memberinya kiat-kiat sukses dan pelatihan cuma-cuma. Bang Idris
sendiri tidak bisa mengikuti test tersebut karena masih terikat perjanjian
dengan lembaga tempat dia mengajar sekarang.
Maya
yang sekarang bukanlah Maya yang dulu. Dulu pengangguran sekarang pegawai bank.
Dulu Bang Idris sangat PD mendekatinya, sekarang menjadi tak terjangkau. Sudah
menjadi kebiasaan di kota tempat mereka tinggal, besar kecilnya mas kawin
ditentukan oleh status pendidikan dan pekerjaan calon mempelai wanita. Semakin
tinggi pendidikannya, semakin mahal maharnya. Semakin baik pekerjaannya,
semakin tinggi nilainya. Tradisi ini
seakan-akan menjadi kewajiban, yang kalau tidak ditunaikan dianggap menyalahi
tradisi yang berkembang. Pihak calon mempelai wanita akan menanggung
malu kalau mas kawinnya murah. Status pekerjaan Maya yang sekarang, membuat
keluarganya memasang tarif tinggi ongkos pernikahan yang dibebankan pada calon
mempelai pria. Tak pelak kepala Bang Idris jadi pusing tujuh keliling
dibuatnya. Gajinya sebagai guru sekolah swasta tentu tak cukup untuk menutupi 30
Mayam emas, 40 juta uang hangus dan masih ada lagi uang “langkah”, uang rehab
rumah plus uang “kasih sayang”. Bukannya Bang Idris tak bisa mengusahakannya,
keluarga dan teman-temannya tentu rela meminjamkan uang mereka, mengingat Bang
Idris adalah orang yang baik, jujur, dan suka menolong. Tapi, untuk apa
menghabiskan biaya yang sangat besar untuk pernikahan sampai hutang sana sini,
sementara kehidupan setelah menikah membutuhkan biaya yang tidak kecil.
Akhirnya Bang Idris menangguhkan niatnya untuk menikah, “cewek matre… ke laut
ajee”, ujarnya dalam hati.
Mahar atau mas kawin adalah pemberian wajib suami
terhadap istri, yang membedakan pernikahan dengan perzinaan. Allah telah berfirman dalam al-kitab, “Berikanlah mahar kepada
wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (Qs. an-Nisa’ : 4). Para ulama sepakat bahwa mahar
bukanlah rukun ataupun syarat dari akad nikah. Tanpa penyebutan mahar
dalam majlis maka akad nikah tetap sah dan berimplikasi hukum. Mahar
adalah hak prerogative istri, dia berhak menentukan besarannya dan penuh
menjadi kepemilikannya tanpa boleh seorangpun mencampuri atau atau punya hak
atas kepemilikannya. Tidak ada ketentuan tentang jumlah maximal dan minimal
sebuah mahar, asala kedua pihak sepakat atas sebuah jumlah, maka itulah yang
harus dibayarkan oleh suami, hanya saja nabi menganjurkan untuk mempermudah
mahar. Dalam riwayat Abu Dawud dari
‘Uqbah bin Amir, Rasulullah SAW bersabda: Sebaik-baik
mahar adalah yang paling ringan. ‘Umar bin al-Khaththab menyatakan: Janganlah kalian
berlebih-lebihan dalam menetapkan mahar para wanita, karena kalau mahar itu
dianggap sebagai pemuliaan di dunia atau tanda takwa kepada Allah SWT, tentunya
Rasulullah SAW lebih dahulu melakukannya daripada kalian. (HR.
Abu Dawud). Ali R.A. pun menikahi
Fatimah dengan mahar hanya sebuah baju besi. Dalam hadits Sahl bin Sa’d z,
nabi bahkan mengatakan “carilah walau sebuah cincin besi” sebagai mahar, ketika
tidak ada cincin besi pun mahar bisa berupa jasa, seperti mengajarkan al-Quran
kepada istri.
1 comment:
Ah... kacian bang Idris. Ayo para calon mempelai wanita, jangan terlalu tinggi maharnya, sesusaikan dengan kemampuan calon suami donk..
Post a Comment