Wednesday, August 13, 2008

Kekerasan dan peran pendidikan

Kita sudah jengah dengan berita-berita di media tentang kekerasan yang terjadi di seantero nusantara. Pelakunya bukan hanya seorang kriminal atau psikopat seperti Fery Henyansyah atau dukun AS tapi juga pelajar, mahasiswa dan masyarakat berpendidikan. Sebut saja beberapa kasus, seperti geng Nero, yang pelakunya adalah pelajar SLTA atau kasus bentrok Mahasiswa Cahaya dengan masyarakat yang terjadi di Jakarta belum lama ini dan sederet kasus tawuran pelajar atau mahasiswa yang terjadi selama ini. Anehnya lagi semua ini terjadi di negara yang terkenal dengan keramahan dan lemah-lembutnya, yang semua rakyatnya sepakat mempunyai budaya timur yang jauh dari kekerasan. Setidaknya itulah yang selalu ditanamkan di benak kita sejak masih duduk di bangku SD, walaupun sebenarnya sejak dulu sebagian kita sudah meragukannya.

Karena budaya amat erat hubungannya dengan pendidikan dan lebih-lebih lagi peran pendidikan dalam membentuk karakter masyarakat tak terbantahkan (daerah yang persentase literacynya lebih tinggi, lebih sedikit ditemukan kasus kekerasan dibanding yang literacynya rendah), kita jadi bertanya-tanya ada apa dengan sistem pendidikan kita?. Apakah kasus-kasus kekerasan yang disebut di atas menandakan bahwa kita telah gagal mendidik bangsa?

Kekerasan yang merupakan sikap anti-sosial sangat identik dengan kriminal, walaupun tidak semua kekerasan bisa dikategorikan crime. Tindakan kriminal adalah bentuk sikap anti-sosial yang melanggar sentimen publik dan dilarang oleh hukum. Jadi kriminal adalah aktivitas anti-sosial dan aktivitas melawan hukum secara bersamaan. Kendatipun tidak semua aktifitas anti-sosial bisa diproses secara hukum, tapi tentu saja tak luput dari kecaman masyarakat umum.
Sebagaimana klasifikasi pelaku kriminal, pelaku kekerasan juga bisa kita klasifikasikan ke dalam 2 kelompok besar.
Yang pertama adalah kelompok pelaku kekerasan yang sudah berbakat sejak kecil. Pelakunya melakukan kekerasan tanpa objective atau kondisi tertentu. Hukuman baik legal maupun sosial tidak akan menjadikannya jera untuk tidak mengulangi tindakan kekerasannya lagi. Kebanyakan pelakunya berasal dari keluarga yang profesinya berhubungan dengan kekerasan seperti preman dan mafia atau yang sejenisnya. Sementara kelompok kedua adalah pelaku kekerasan yang didorong oleh sebab-sebab tertentu. Orang ini tidak mewarisi sifat keras dari keluarganya tapi seiring dengan berjalannya waktu kehidupannya menghadapi keadaan yang memaksanya untuk cenderung pada kekerasan. Sehingga dia menjadi orang yang kadang-kadang lembut tapi juga sampai hati untuk bertindak tidak manusiawi. Orang yang berada dibawah pengaruh minuman keras dan obat-obatan terlarang temasuk dalam kategori ini.

Baik kelompok pertama maupun kedua sebenarnya sama-sama punya peluang untuk terhindar dari kecenderungan terhadap berperilaku keras. Dalam tatanan kehidupan kita mengenal social control sebagai sistem yang menjaga sikap individu agar tetap sesuai dengan nilai umum yang disepakati dalam masyarakat. Sayangnya belakangan ini social control itu tidak berfungsi sebagaimana harusnya.

Hayes, seorang ilmuwan sosial, membagi social control pada dua bagian. Yang pertama adalah control by sanction, yaitu dengan memberi sanksi pada orang yang melanggar hukum. Ini tentunya berkaitan dengan kinerja polisi dan pengadilan, lembaga yang bertanggungjawab dengan penyelenggaraan hukum. Yang kedua adalah control by socialization and education, yaitu sosialisasi norma dan nilai melalui pendidikan. Ini tentunya bukan hanya tanggungjawab guru atau sekolah saja walaupun porsinya lebih besar, tapi juga tanggungjawab orang-tua, tokoh masyarakat, da'i ataupun agamawan. Mereka ini, menurut Karl Maunhelm adalah grup yang memberikan direct control, sementara indirect controlnya adalah tradisi, opini, adat dan lain-lain.

Pendidikan sebagai agen penting sosial control, disamping agama, keluarga dan hukum layak kita pertanyakan hasilnya selama ini. Pendidikan adalah proses yang membentuk sikap dan menentukan perilaku, baik pada anak-anak maupun dewasa. Setiap pengaruh yang perlahan membentuk fikiran, perasaan dan perbuatan termasuk dalam pendidikan. Dalam pengertian yang lebih luas, sekolah sebagai institusi pendidikan melayani fungsi mengarahkan anak dan remaja kepada cara hidup bermasyarakat. Dengan menanamkan nilai-nilai dasar, konsep dan kebiasaan, pendidikan memberikan efek yang sangat besar terhadap anak dan remaja. Dengan begitu, sekolah selayaknya melaksanakan fungsi social control yang sangat luas dan efektif dibanding institusi lain.

Sayangnya carut marut wajah pendidikan kita diperburuk oleh kinerja guru dan persaingan sekolah yang orientasi bisnisnya sangat kental terasa. Atas permintaan pasar, porsi pendidikan nilai sudah dikurangi digantikan dengan pelajaran lain yang lebih menarik minat orang-tua. Sekolah, kalau ingin "laku", dituntut untuk dapat membuat peserta didiknya senang tanpa harus memikirkan apakah itu baik untuk anak didik atau sebaliknya, membodohkan kecerdasan emosinya. Anak-anak dimanja dengan fasilitas yang serba "wah" dengan harapan mereka bisa nyaman belajar tapi nyatanya justru mendidik anak untuk tidak mandiri dan tidak terampil menghadapi kesulitan yang pada gilirannya menciptakan anak-anak yang mudah menyerah dan malas. Menjamurnya sekolah-sekolah yang bertaraf internasional yang lebih pantas disebut sekolah bertarif internasional adalah bukti dari persaingan bisnis pendidikan. Semakin tinggi biaya yang dikenakan oleh sekolah malah semakin banyak peminatnya.

Membudayanya sekolah-sekolah yang lebih mementingkan segi bisnis seperti ini tentu saja diragukan untuk menjalankan fungsinya sebagai social control. Jangan heran kalau suatu masa nanti anak-anak kita akan tersenyum simpul ketika gurunya mengatakan bahwa Indonesia terkenal dengan sopan-santun dan keramah-tamahan.

No comments:

advertlets

PayPal

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.